PENDEKAR ROMANTIS (Cerita silat dewasa, 18+, tabib_gila@yahoo.com) Seri ke 1 – Perkampungan Misterius (TAMAT) Seri ke 2 - Rahasia Lembah Terlarang Rahasia Lembah Terlarang 1 - Asmara Dua Sejoli 1. Asmara Dua Sejoli Terang bulan di depan dipan disangka embun beku memutih di lantai ruang Muka mendongak bulan ditatap kepala merunduk kampung dikenang (Li Bai, Merenung di malam sunyi) Di depan sebuah gua, diantara dua batu besar seukuran manusia duduk bersandar seorang pemuda berwajah tampan sambil matanya menatap ke atas. Malam tidak hanya diterangi sinar bulan yang bulat dan kuning, tetapi juga jutaan bintang yang tersebar dan berkelip-kelip taburkan sinar terangi di heningnya malam. Langit seperti kubah berlampu menaungi suasana sekitar gua tersebut yang sepi dan tenang. Letak gua tersebut kira-kira berada di ketinggian beberapa puluh kaki di atas permukaan lembah. Sambil duduk bersandar pemuda tersebut dapat melihat keseluruhan lembah itu. Jalan yang menuju ke sana kecil, terjal dan tersembunyi, apabila tidak hati-hati bisa terperosok jauh ke bawah. Pemuda itu bergumam kecil “Entah bagaimana keadaan di luar sana, tak terasa sudah beberapa bulan aku berdiam di sini.” Malam semakin larut diburu angin dingin menggigit tulang. Bayangan-bayangan hitam berkelebat di udara, cicit suara makhluk malam menambah kelam suasana. Sesekali terdengar suara binatang malam di kejauhan. Masih tergugu sambil memandang lembah di hadapannya, tanpa disadari pemuda itu, muncul sesosok tubuh seorang gadis dari balik gua. Berdiri diam di damping pemuda itu seolah mengetahui keresahan hati pria pujaan hati. Pemuda itu sendiri telah menyadari kehadirannya, sayup-sayup ia mencium bau wangi jang teruar dari tubuh si gadis, ...selama beberapa bulan belakangan ini ia cukup akrab dengan bau harum tersebut, namun begitu menciumnya dengan reflek hatinya berdenyut kencang. Perlahan namun pasti semacam gairah tertentu mulai mengeliat. Mata si gadis yang dahulu tampak sedikit angkuh, sekarang memancarkan sinar mata penuh cinta kasih terhadap si pemuda. “Hong-ko apa yang sedang engkau pikirkan?” tanya si gadis sambil meletakkan kepalanya di pundak si pemuda. “Ssstt..tidak apa-apa” sahut si pemuda sambil merengkuh si gadis dalam pelukannya. Dengan lembut ia mencium pipi bidadarinya. Gadis itu tidak menghindar bahkan membalasnya dengan penuh hasrat. Pemuda itu mencium harum lembut bunga di pipi gadis itu. ia kecup permukaan kulit yang halus bagai pualam itu lalu mengalihkan ciumannya, ke sudut bibir yang ranum itu. "Aku hanya memikirkan kapan kita berhasil memecahkan rahasia tersebut," bisik pemuda itu dekat sekali di muka si gadis. “Sungguh aneh pertemuaan kita ini” sahut si gadis sambil mengenang pertemuan mereka. Gadis yang cantik rupawan itu adalah Li Bi Li, anak gadis satu-satunya Li Han Bun, ketua perkampungan misterius. Pertemuaannya yang pertama dengan si pemuda terjadi di tengah malam buta, di sebuah kelenteng di luar kota Gui-Lin. Pertemuaan kedua terjadi beberapa bulan yang lalu di lembah ini, di mana saat itu ia menemukan si pemuda dalam keadaan luka parah. Selama beberapa detik terjadi pergolakan batin yang hebat di hati Li Bi Li, apakah harus menyerahkan si pemuda yang terlentang di taman itu dalam keadaan pingsan pada ayahnya atau tidak. Namun akhirnya perasaannya terhadap si pemuda mengalahkan segalanya. Sambil membopong si pemuda, Li Bi Li menghilang di kegelapan malam menuju gua tersembunyi yang baru ditemukannya baru baru ini. Selama beberapa bulan ini dengan telaten ia merawat luka-luka si pemuda hingga sembuh. Para pembaca tentunya sudah dapat menerka siapa gerangan si pemuda itu…ya dia adalah jago kita, Tan Hong , si pendekar romantis. Lolos dari maut berkat pertolongan Li Bi Li, perawatan Li Bi Li yang telaten akhirnya berhasil menyembuhkan luka-luka yang diderita Tan Hong. Hal ini tidak terlepas dari ilmu pertabiban yang dikuasai Li Bi Li. Sebagai anggota keluarga perkampungan misterius, keturunan langsung jenius silat jaman dahulu Master Li, Li Bi Li juga menguasai ilmu pengobatan yang tinggi. Selama merawat luka-luka tersebut, keduanya semakin akrab satu sama lain. Selama beberapa bulan bergaul berdua saja dengan seorang gadis perawan yang sedang mekar-mekarnya, terlebih si gadis juga memiliki perasaan tertentu pada si pemuda, membuat keduanya tidak dapat mengekang perasaan masing-masing. Dari jarak seperti ini, Tan Hong bisa memandang lekat ke mata Li Bi Li, mata yang baginya adalah sumber pancaran kehangatan dan keceriaan, sekaligus jendela bagi sebuah hati yang lembut walau tersaput sendu. "Entahlah..," jawab Li Bi Li dengan berbisik pula. Dibalasnya tatapan Tan Hong, dan sejenak keduanya membiarkan jiwa mereka tertaut di jembatan pelangi yang tercipta dari dua pasang mata itu. Nafasnya yang harum menerpa bersama aroma alam segar yang amat disukainya. Tanpa ragu, Tan Hong mencium bibir Bi Li yang mempesona, mengulumnya dengan sepenuh hati, menumpahkan segala perasaannya ke mulut gadis yang sudah menyita hidupnya belakangan ini. L Bi Li memejamkan matanya erat-erat, menutup pandangannya dari dunia nyata, membiarkan jiwanya terbang ke alam maya yang penuh ketakjuban. Bibir pemuda itu terasa hangat di bibirnya, membiaskan citra kasih yang merayapi leher, turun ke dadanya, membuatnya melayang seakan berenang-renang di lautan perasaan yang amat dalam. Ia membiarkan dirinya terlena karena ia ingin pula segera menemukan, ada apa di dasar perasaannya. Perlahan tapi pasti, keduanya saling mengulum dan saling melumat. Perlahan tapi pasti pula, kemesraan mereka berkembang berbuah menjadi kehangatan birahi badani. Bi Li semakin jauh terlena, merasakan desir darahnya bertambah cepat, dan daerah-daerah sensitif di tubuhnya seperti terbangkit oleh sebuah kekuatan gaib. Kedua tangannya merangkul leher Tan Hong, merengkuh tubuh pemuda itu agar lebih erat terhenyak ketubuhnya. Nafasnya mulai memburu, dan desah gelisahnya mulai terdengar nyata. Tan Hong pun merasakan kelembutan kehangatan tubuh dalam pelukannya bagai segumpal awan yang dapat membawanya terbang. Nikmat sekali rasanya memeluk tubuh segar seorang gadis yang sedang ranum-ranumnya. Harum tubuh Bi Li pun sangat memabukkan, membuat Tan Hong merasa berada di salah satu sudut di kahyangan, di mana segalanya cuma keindahan dan kenikmatan belaka. Ingin sekali rasanya ia merebahkan tubuh itu di permukaan tanah, menindihnya dengan sepenuh nafsu, memberikannya kenikmatan yang kini dirasakan sudah penuh terkumpul di dalam tubuhnya. Li Bi Li tersenyum lembut sekali, lalu mendekatkan mukanya ke muka Tan Hong, membuka bibirnya bagai sekuntum bunga yang merekah menyambut matahari pagi. Kedua kelopak matanya menutup perlahan, sebelum bibir mereka beradu lembut. Tan Hong merasakan betapa sebuah aliran hangat seperti merayap keluar dari bibir yang menggairahkan itu, menelusup ke bibirnya sendiri lalu memenuhi dadanya. Bi Li berjingkat, memeluk leher Tan Hong, mengulum bibirnya, membuka mulutnya mengundang lidah si pemuda untuk mulai menjelajah. Tan Hong menghisap kedua bibir yang menggairahkan itu, membuka mulutnya sendiri untuk menyambut sergapan nafas hangat yang menghabus keluar dari mulut Bi Li. Lalu ia menjilati lidah si gadis yang muncul di permukaan mulutnya. Lalu ia mendesak lidah itu kembali ke mulutnya, dan menjelajahi rongga yang menggairahkan dan penuh kehangatan itu. Li Bi Li mendesah perlahan, mengerang perlahan. Cukup lama keduanya saling memagut dan melumat sambil tetap berdiri. Bi Li merasakan tubuhnya melayang-layang lagi. Kali ini disertai rasa geli gatal yang sangat dikenalnya; yang perlahan-lahan mulai memenuhi tubuhnya. Payudaranya yang kenyal terhenyak di dada bidang pemuda itu, menimbulkan rasa nyaman sekaligus nikmat. Apalagi ia kemudian menggerak-gerakkan dadanya perlahan, menggesek kekiri dan kekanan, menambah tekanan di puncak-puncaknya. Perlahan-lahan tangan Tan Hong merayap turun dari punggung bi Lans, menyusuri lekuk-liku tubuh yang seksi itu. Setiap mili perjalanan tangan itu menimbulkan gairah kelaki-lakiannya... perlahan-lahan menguakkan baju putih yang dikenakannya. Tangan Tan Hong menelusup masuk, menemukan kulit halus mulus menggairahkan yang seperti bergetar lembut setiap kali tersentuh telapaknya. "Hmmmmm...," Bi Li mendesah manja sambil merebahkan diri ke permukaan rumput, si pemuda mengikutinya sambil terus mengusap-usap punggung Bi Li yang putih mulus. Bi Li menggerak-gerakan bahunya, dan baju tipis yang dikenakannya sudah terbuka itu kini meluncur turun. Sekejap kemudian .... Tan Hong melepaskan ciumannya, memandang takjub tubuh molek di hadapannya. Tubuh inilah yang selalu ada di mimpinya, dan ... memang, tak ada yang berbeda dari selama ini dirindukannya! Semuanya tampak indah belaka! "Jangan melihatku begitu Hong-ko..," bisik Bi Li dengan suara bergetar malu, kedua buah dadanya yang membulat menjulang itu terpampang mengairahkan di hadapan si pemuda. Tan Hong sambil tersenyum meraih tubuh Bi Li lebih dekat lagi, memegang mukanya dengan dua tangan, dan memagut bibirnya yang menggemaskan itu. Bi Li mengerang pelan sambil memejamkan kedua matanya lagi. Sensor ya :) Sebentar kemudian pakaian keduanya telah berserakan tak beraturan di permukaan rumput yang hijau, dan keduanya telah terhenyak dengan tubuh Tan Hong menindih tubuh Bi Li yang putih mulus. Kedua kaki Bi Li yang indah itu melingkar memeluk pinggang Tan Hong yang kini sibuk menciumi buah dada bidadari pujaannya. Kedua tangan Bi Li mencengkram rerumputan karena sebuah rasa geli yang amat sangat menyerbu tubuhnya, datang dari mulut Tan Hong yang tahu-tahu sudah mengulum salah satu putingnya. Sensor... Lalu Tan Hong merasakan dirinya pelan-pelan tenggelam ... Masuk ke sebuah liang sempit yang licin dan berdenyut ... Sesuatu yang menakjubkan mempesona melenakan. "Hong-ko...," Bi Li mendesah sambil merangkul leher pemuda itu. Sensor.... Lalu entah bagaimana keduanya mulai bergerak-gerak. Mula-mula gerakan itu tak beraturan. Tetapi kemudian mereka menemukan irama sendiri. Tan Hong bergerak turun naik makin lama makin cepat. Bi Li bergerak berputar-putar, juga semain cepat. Tan Hong kini bertelekan di kedua sikunya sambil membenamkan mukanya di pangkal leher Bi Li yang sudah mulai berkeringat. Bi Li merangkulkan kedua kakinya yang indah di pinggang pemuda itu, sementara kedua tangannya merangkul erat leher Tan Hong. Suara desah dan erangan bercamput suara binatang malam dan kecipak-kecipuk suara yang keluar dari tempat berpadunya tubuh mereka. Ramai sekali. Bergairah sekali. Entah kebetulan atau tidak, alam seperti sedang menyaksikan pecumbuan dua anak manusia ini. Sebuah guntur menggelegar di kejauhan, gemanya dipantulkan dinding-dinding gunung, menimbulkan geluduk berkepanjangan. Lalu rintik hujan mulai turun diiringi angin yang berkesiut di puncak-puncak pohon. Sensor... Tan Hong merasakan pula sebuah desakan yang tak mampu dikendalikannya, membuat tubuhnya bergetar hebat. Air bah birahi mengambur keluar deras sekali, membuatnya meregangkan seluruh otot di tubuhnya. Tubuh bagian bawahnya terhenyak dalam-dalam, menekan tubuh Bi Li di bawahnya. Lalu ...... Air hujan bagai ditumpahkan dari langit. Suaranya ramai sekali mencercah bumi, menimbulkan suara gemuruh, menenggelamkan erangan-erangan Tan Hong dan Bi Li yang sedang menikmati klimaks mereka yang panjang. Hari itu, di suatu malam yang basah oleh hujan, Li Bi Li menyerahkan kegadisannya kepada seorang pemuda pujaan hatinya. Ia tak menyadari hal ini, karena berkali-kali kemudian mereka bercumbu dan bercumbu lagi. Tak pula sempat menimbang, betapa semakin lama mereka melangkah semakin jauh. Bahkan mungkin terlalu jauh..... (ebookhp.com) 2. Rahasia Mo-Kauw Kauwcu Mari kita tinggalkan sepasang sejoli yang sedang di mabuk asmara, kita lihat dahulu situasi dunia persilatan selama beberapa bulan belakangan ini. Dalam seri perkampungan misterius, pada pertempuran di Paviliun Seribu Pedang, disepakati akan diadakan enghiong-tay-hwe (pertemuan besar para kesatria) di Shao-Lin satu bulan mendatang antara perkampungan misterius dan kaum persilatan yang dimotori oleh ketua paviliun seribu pedang, tetua Shao-Lin, dll. Namun sebelum pertemuan tersebut dapat dilangsungkan, terjadi sebuah peristiwa besar yang sangat mengegerkan sungai telaga dan membuat enghiong-tay-hwe mustahil untuk dilaksanakan. Peristiwa tersebut adalah meluruknya kembali partai Mo-Kauw ke Tiong-goan secara terang-terangan. Sebelumnya memang muncul kabar burung bahwa partai Mo-Kauw telah menyusup ke Tiong-goan namun masih banyak kalangan yang meragukannya. Begitu pula kabar angin yang menyebutkan partai Mo-Kauw di pimpin oleh seorang kauwcu yang telah berhasil menguasai ilmu sakti Thian-Te-Hoat tingkat ke sembilan baru-baru ini. Ilmi Thian-Te-Hoat sendiri adalah ilmu silat kebanggan partai Mo-Kauw dan diakui sebagai salah satu ilmu silat paling hebat sejagad. Selama sejarah ratusan tahun belakangan ini hanya ketua partai Mo-Kauw angkatan ke sepuluh saja yaitu Sin-Kun-Bu-Tek yang berhasil menguasai ilmu tersebut sampai puncaknya. Walaupun kemudian Sin Kun Bu Tek dikalahkan jenius silat Master Li Kun Liong namun kemenangan itu sedikit ternoda alias kurang gemilang karena saat itu Sin Kun Bu Tek habis bertempur dengan empat tokoh besar jaman itu. Dengan berhasilnya Mo-Kauw kauwcu saat ini menguasai tingkat tertinggi ilmu Thian-Te-Hoat, maka boleh di bilang partai Mo-Kauw telah kembali meraih kejayaannya seperti ratusan tahun yang lalu. Ini mungkin salah satu sebab mengapa partai Mo-Kauw berani terang-terangan muncul di Tiong-goan dan menyerang Shao-Lin-Pai. Kemunculan partai Mo-Kauw kali ini tidak tanggung-tanggung, mereka langsung menyerang Shao-Lin-Pai, sebuah partai utama yang dikenal sebagai pimpinan dunia persilatan Tiong-Goan selama ratusan tahun. Di pimpin langsung Mo-Kauw kauwcu langsung bersama seluruh tokoh-tokoh utama Mo-Kauw dan ratusan anggota yang memiliki ilmu silat tinggi, mereka menyerang Shao Lin Pai di tengah malam buta dan dalam waktu semalam berhasil ditaklukkan. Banyak murid-murid Shao-Lin yang binasa termasuk beberapa tetua Shao-Lin, sedangkan sisanya ada yang ditangkap atau melarikan diri. Kelenteng Shao-Lin yang megah dibakar pihak Mo-Kauw, yang tersisa hanya puing-puing saja. Keberhasilan partai Mo-Kauw menghancurkan Shao-Lin dalam waktu semalam saja tidak terlepas dari siasat jangka panjang yang diterapkan Mo-kauw kauwcu terdahulu. Selama beberapa puluh tahun belakangan ini, mereka menyusupkan mata-mata di partai Shao-Lin. Dari mata-mata inilah partai Mo-kauw berhasil mendapatkan informasi-informasi berharga seperti sistem penjagaan, siapa-siapa saja yang perlu diwaspadai, letak tempat tinggal para tetua Shao-Lin, dll. Memang tidak dapat dipungkiri, selama belasan tahun belakangan ini partai Shao-Lin mengalami kemunduran yang cukup berarti. Setelah sekian lama berjaya memimpin dunia persilatan Tiong-goan selama ratusan tahun, para padri Shao-Lin sedikit lalai dengan latihan ilmu silat mereka, terlebih selama puluhan tahun ini tidak begitu banyak peristiwa yang menghebohkan dan juga pimpinan ketua Shao-Lin dua generasi terakhir di pimpin oleh padri yang lebih mengutamakan pelajaran olah rohani dari pada olah badan. Saat ini Shao-Lin-Pai di pimpin oleh Hong-Lam-Taisu, seorang padri welas asih berusia sekitar tujuh puluh lima tahunan dan sangat dicintai oleh segenap murid-murid Shao-Lin. Hanya saja Hong-Lam-Taisu lebih sering mendalami pelajaran kebatinan daripada berlatih silat sehingga kemajuan ilmu silatnya tidak terlalu maju jika dibandingkan dengan murid-murid Shao-Lin seangkatannya. Murid seangkatan Hong-Lam-Taisu hanya tertinggal dua orang saja yaitu Hong-Tong taisu dan Hong-Mong taisu. Hong-Tong taisu saat ini menjabat sebagai kepala keamanan Shao-Lin dengan tanggung jawab mengawasi dan menjaga seluruh keamanan kelenteng Shao-Lin dari serbuan ataupun dari para penyusup yang ingin mencuri pusaka-pusaka Shao-Lin. Ia membawahi pemimpin kamar pusaka, pemimpin tempat keramat, pemimpin latihan kungfu, pemimpin barisan Lo-han (Lo-han-tin). Boleh dibilang ilmu silat Hong-Tong taisu adalah yang paling tinggi diantara mereka bertiga, sedangkan ketua Shao-Lin, Hong-Lam-Taisu adalah yang terlemah walaupun usianya paling tua diantara mereka. Hong-Mong taisu menjabat sebagai kepala rumah tangga Shao-Lin dengan tanggung jawab mengurus segala urusan harian seperti keperluan dapur, kebersihan kelenteng, peralatan doa, keuangan kelenteng dan lain-lain. Kabarnya ilmu silat yang dimilikinya walaupun masih kalah seurat dengan suhengnya, Hong-Tong taisu dapat dianggap jago nomer dua Shao-Lin saat ini. Mereka berdua inilah sebenarnya yang menjadi tulang punggung partai Shao-Lin saat ini. Angkatan di bawah mereka bertiga adalah para padri dengan nama depan Jing, yang paling terkenal adalah Jing-Wan-taisu, pemimpin barisan Lo-Han. Jing-Wan taisu adalah adalah murid kesayangan Hong-Tong taisu hingga tidak heran ilmu silatnya paling tinggi di angkatannya, Jing. Jing-Wan taisu sering diminta gurunya, mewakili pihak Shao-Lin untuk menghadiri pelbagai undangan kaum persilatan atau menyelesaikan masalah-masalah kaum kangouw. Dalam pertempuran antara pihak perkampungan misterius dengan perkampungan pedang keluarga Thio di paviliun seribu pedang beberapa waktu yang lalu, Jing-Wan taisu hadir sebagai pihak penengah. Entah kebetulan atau tidak, pada saat terjadinya penyerbuan tersebut, Hong-Lam taisu dan Hong-Mong taisu tidak berada di Shao-Lin. Hal ini sangat jarang terjadi dan hanya Hong-Tong taisu saja yang mengetahui kepergian ketua dan kepala rumah tangga Shao-Lin tersebut. Hal ini tentu saja berada di luar perkiraan Mo-Kauw kauwcu karena berdaasarkan informasi dari mata-mata mereka, ke tiga tokoh penting tersebut berada di Shao-Lin. Kepergian kedua tokoh penting Shao-Lin tersebut merupakan salah satu sebab mengapa Shao-Lin dapat dengan mudah ditaklukan dalam waktu semalaman. Mo-Kauw kaucu sendiri sangat kecewa, ia sangat berharap dapat menangkap ketua Shao-Lin dengan tangannya sendiri. Sebenarnya pihak Shao-Lin memberikan perlawanan yang hebat dalam penyerbuan tersebut, terbukti sebelum Mo-Kauw kaucu turun tangan sendiri menghadapi jago terlihai Shao-Lin saat ini, Hong-Tong taisu, dua dari empat kepala barisan Mo-kauw binasa di tangan Hong-Tong taisu. Pertandingan hebat antara Mo-Kauw kaucu dengan Hong-Tong taisu merupakan klimaks yang menentukan pihak mana yang menang dan pihak mana yang menderita kekalahan. Dalam pertandingan hidup mati tersebut, Hong-Tong taisu sangat kagum dengan kehebatan ilmu silat lawan. Selama hidupnya pertempuran ini adalah yang terhebat yang pernah ia alami. Hanya sayang ia tidak dapat mengetahui raut wajah sebenarnya dari lawannya itu karena Mo-Kauw kauwcu mengenakan topeng, yang terlihat hanya sepasang mata yang bersinar sangat mencorong tanda pemiliknya telah mencapai tingkat kesempurnaan tenaga dalam. Sebaliknya Mo-Kauw kauwcu juga mengagumi kelihaian dan keuletan Hong-Tong taisu hingga memaksanya mengeluarkan ilmu simpanan, Thian-Te-Hoat untuk menghabisi lawannya tersebut. Kematian Hong-Tong taisu di tangan Mo-Kauw kauwcu membuat perlawanan para murid Shao-Lin melemah, hingga akhirnya dalam waktu tidak beberapa lama, pertahanan barisan Lo-han jebol dan Shao-Lin-pai pun takluk. Siapa sebenarnya Mo-Kauw kauwcu yang lihai ini? Benarkah ia baru berusia sekitar tigapuluh tahunan seperti yang tersiar di sungai telaga? Benarkah ia telah menguasai ilmu Thian-Te-Hoat hingga tingkat tertinggi? Apa rencana Mo-Kauw Kauwcu selanjutnya? Tidak ada yang tahu jawaban yang pasti, bahkan sebagian besar anggota Mo-kauw belum pernah melihat wajah asli kauwcu mereka. Pimpinan partai Mo-kauw saat ini terbagi dua yaitu empat pelindung partai dan empat pemimpin barisan. Empat pelindung partai adalah tangan kanan Kauwcu sedangkan empat pemimpin barisan merupakan pelaksana operasional di mana setiap kepala barisan memimpin ribuan anggota Mo-Kauw. Setiap barisan di bedakan berdasarkan warna pakaian yang dikenakan yaitu hijau, biru, kuning, dan putih. Ke empat kepala barisan tersebut memiliki ilmu silat kelas satu, mereka merupakan tulang punggung partai Mo-Kauw. Namun sayang dalam pertempuran di Shao-Lin, dua kepala barisan Mo-kauw gugur di tangan Hong-Tong taisu dan memaksa Mo-Kauw kauwcu turun tangan sendiri. Empat pelindung partai bertanggung jawab langsung kepada kauwcu, tugas mereka adalah melindungi dan melaksanakan tugas-tugas rahasia yang diberikan kauwcu. Saat ini hanya ada tiga pelindung partai karena pelindung partai ke dua, meninggal dunia karena usia tua dan belum ditentukan penggantinya. Usia para pelindung partai ini rata-rata sudah berusia lanjut, jauh lebih tua dari kauwcu mereka. Pada saat penyerbuan di Shao-Lin, mereka tidak ikut serta karena mengemban tugas rahasia dari kauwcu yang lebih penting. Pelindung partai yang pertama tetap berada di markas besar Mo-Kauw di Persia, memimpin markas sementara kauwcu pergi. Pelindung partai ketiga sebenarnya turut serta dalam penyerbuan bahkan lebih dahulu berada di Shao-Lin karena mata-mata yang disusupkan Mo-Kauw di Shao-Lin sebenarnya adalah pelindung partai ketiga. Untuk kepentingan rencana jangka panjang, sejauh memungkinkan ia diperintahkan untuk tidak mengungkapkan jati dirinya yang sebenarnya. Pelindung partai ke empat adalah pelindung partai yang paling misterius bagi para anggota Mo-Kauw, sama misteriusnya dengan kauwcu mereka. Pelindung partai umumnya di angkat oleh kauwcu terdahulu yang tugas utamanya adalah melindungi, memberikan pertimbangan-pertimbangan bagi kauwcu baru. Mereka biasanya sudah menjabat selama puluhan tahun dan berasal dari anggota Mo-Kauw pilihan. Namun pelindung partai ke empat baru beberapa tahun saja ditunjuk langsung oleh kauwcu dan hanya para pelindung partai dan ke empat kepala barisan yang pernah bertemu muka dengan pelindung ke empat ini. Di samping itu pelindung partai ke empat ini sangat jarang berada di markas, kalaupun kembali ke markas biasanya langsung menemui kauwcu secara pribadi. Kabar burung pelindung partai ke empat ini merupakan kawan karib kauwcu. Seberapa tinggi ilmu silatnya, tidak ada yang mengetahui dengan jelas, hanya dari kabar burung yang tersiar di kalangan anggota Mo-Kauw, ilmu silat pelindung partai ke empat ini melebihi para pelindung partai lainnya. Mo-Kauw kauwcu sendiri baru menjabat sebagai pemimpin partai sepuluh tahun belakangan ini. Sebagai seorang kauwcu baru tentu saja tantangan ke dalam yang ia hadapi tidak sedikit terutama pada awal-awal kepemimpinannya diantaranya menaklukan hati para pelindung partai dan ke empat kepala barisan Mo-Kauw. Memang jika hanya mengandalkan kelihaian ilmu silat, Mo-Kauw kauwcu tentu tidak akan kesulitan, terlebih ia telah menguasai ilmu Thian-Te-Hoat. Tapi kehebatan Mo-Kauw kauwcu bukan hanya terlihat dari kelihaian ilmu silatnya namun juga karisma kepemimpinannya yang tinggi. Cukup beberapa bulan saja, ia sudah mampu menaklukkan hati seluruh pucuk pimpinan tertinggi partai Mo-Kauw. Tidak ada yang tahu bagaimana cara Mo-Kauw kaucu menaklukan hati mereka namun yang jelas semenjak kematian pelindung partai kedua yang meninggal di usia tua, terjadi perubahan sikap dari menganggap enteng menjadi jeri atau segan. Selama memimpin partai, Mo-Kauw kauwcu berhasil meningkatkan kesejahteraan anggota, meningkatkan moril dan ilmu silat para anggota, hingga tidak heran dalam waktu sepuluh tahun saja, partai Mo-kauw dapat bangkit kembali meraih kejayaannya seperti ratusan tahun yang lalu. Lima tahun kepemimpinannya, Mo-Kauw kauwcu memusatkan pikiran pada pembenahan partai dan menaklukkan atau menjalin persahabatan dengan partai-partai di Persia. Lima tahun berikutnya baru ia memusatkan pikiran untuk kembali ke Tiong-Goan. Keberhasilannya menaklukkan partai Shao-Lin hanyalah langkah awal bagi rencana besar berikutnya. Apa rencana tersebut hanya ia sendiri yang mengetahuinya, tidak juga para pelindung partai dan para kepala barisan. Namun yang jelas apapun rencana tersebut, dapat dipastikana menimbulkan prahara di sungai telaga yang selama puluhan tahun ini tenang bagaikan permukaan sungai yang jernih. (ebookhp.com) 3. Kejadian Yang Tak Terduga-duga Pagi itu mentari bersinar begitu cerahnya seakan menghapus titik-titik hujan semalam. Pagi itu Li Bi Li bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan makanan pagi buat mereka berdua seperti biasanya. Pada wajah ranum kemerah-merahan itu terlihat berseri-seri, begitu pula ruang hatinya dipenuhi sinar cahaya kebahagiaan. Sambil bersenandung kecil, Bi Li melanjutkan perjalanannya sambil membawa percik-percik kebahagiaan, menuju air terjun kecil dengan airnya yang jernih, memancar dengan deras di bagian belakang gua tersebut. Dengan riang ia terus berjalan menembus lebatnya hutan yang masih diselimuti embun pagi yang menyegarkan. Harum bunga persik dan kicau burung di alam yang damai dan tenang seolah menyertai keceriaan gadis muda ini. Sebuah kolam kecil di tengah air terjun yang terdapat bias-bias warna dan dikelilingi tebing-tebing batu, membuat letak air terjun itu cukup tersembunyi. Gemericik airnya membuat Bi Li tanpa membuang waktu lebih lama segera melepaskan semua pakaian yang dikenakannya. Terlihat sebuah tubuh yang indah dengan kulit putih mulus dengan sepasang buah dada sedang mekar-mekarnya, ranum bagaikan apel segar, sangat menantang. Bagaikan bidadari telanjang mandi berkamar kabut yang dibentang pagi, tubuh Bi Li yang putih mulus segera terbenam dalam kolam kecil itu. Dinginnya air segera menyerbu segenap pori-pori di tubuh Bi Li namun tak dirasakannya. Dengan penuh nikmat Bi Li berenang menyusuri tepi kolam, gerakan tubuhnya mengikuti alunan air. Samar-samar terbayang potongan tubuh yang sungguh mengiurkan bagi setiap laki-laki yang melihatnya. Tanpa sepengetahuan Bi Li, di balik rerimbunan pepohonan terpancar sepasang mata yang tajam bersinar-sinar, tak berkedip melihat pemandangan yang terpampang dihadapannya. Sinar mata tersebut berasal dari seorang pemuda yang baru tiba di air terjun tak lama setelah Li Bi Li melucuti pakaiannya. Jakun di lehernya bergerak-gerak mengikuti setiap gerakan Bi Li terlebih ketika tubuh putih mulus Li Bi Li polos tanpa secuil pakaianpun. Dengan liar matanya melahap setiap bagian tubuh Bi Li, tak sekejap pun ia berkedip seolah takut kehilangan kesempatan yang langka. Dengan gairah yang meluap-luap dan gemuruh jantung yang berdegup-degup tanda si pemuda sudah tidak kuat menahan desakan yang semakin menguat, perlahan tapi pasti, pemuda itu semakin mendekati kolam air terjun tersebut. Semakin dekat semakin jelas pemandangan yang terlihat. Namun rupanya pemuda itu tidak cereboh, terbukti langkah kakinya mantap seolah sudah terbiasa mengikuti jejak buruannya. Hanya beberapa langkah kaki saja jarak si pemuda dengan tempat Li Bi Li berenang tapi Bi Li belum menyadari bahaya yang mengancamnya. Hal ini cukup dapat dimaklumi, suasana hatinya saat itu penuh kebahagiaan dan tempat tersebut sangat terpencil sehingga tingkat kewaspadaannya mengendor. Setelah puas berenang ke sana kemari menikmati pagi yang cerah, Li Bi Li melangkah keluar dari kolam air tersebut dan berjalan menuju tempat di mana ia menaruh pakaiannya. Dengan buah dada membusung dan sisa-sisa air menetes di tubuhnya yang mulus, sungguh membuat lelaki manapun yang melihatnya akan terkesima. Di saat Li Bi Li membungkukkan badan untuk mengambil pakaian, tiba-tiba dengan kecepatan yang sungguh sukar dilukiskan dengan kata-kata, si pemuda yang bersembunyi di balik pohon besar beberapa kaki di belakang Li Bi Li, melayang keluar sambil bersalto ke udara ibarat elang yang menyambar mangsanya. Dengan keterkejutan yang tinggi, Li Bi Li membalikkan tubuhnya untuk menghadapi ancaman tersebut namun ia kalah satu langkah. Ujung jari telunjuk si pemuda berhasil menutu pundak kanan Bi Li diikuti dengan beberapa tutukan, membuat Li Bi Li diam tak bergerak, hanya matanya yang lentik terbelalak ngeri melihat siapa gerangan yang melakukan pembokongan tersebut. “He..he..hee, tidak sia-sia aku melakukan pelacakan di sekitar lembah ini selama beberapa bulan ini, ternyata kalian bersembunyi di sini” kata si pemuda sambil matanya dengan rakus melahap tubuh tanpa sehelai benang pun, yang terpampang dengan sejelas-jelasnya dihadapannya. “Nona Li, engkau pasti tidak menyangka sama sekali tempat persembunyianmu akhirnya berhasil kutemukan. Aku tahu engkau pasti tidak akan lari jauh-jauh dari lembah ini, terlebih sambil membawa orang yang terluka parah. Sekarang di mana adanya Tan Hong, apakah dia sudah mampus?” tanya si pemuda sambil berjalan semakin mendekat kearah Li Bi Li. Dengan wajah membayangkan kengerian akan bahaya yang akan menimpanya, Li Bi Li berkata dengan nada marah sekali “Kim Han Seng ternyata engkau bukanlah seorang laki-laki sejati, beraninya hanya membokong dan menghina wanita, lepaskan aku atau aku…” “Atau apa..” sahut Kim Han Seng sambil menyorongkan kepalanya kearah wajah Li Bi Li. Dengan gariah tinggi dipagutnya bibir kecil kemerah-merahan itu, rasanya begitu segar dan manis. Li Bi Li sendiri hampir pingsan melihat perbuatan Kim Han Seng yang begitu kurang ajar, dadanya terengah-engah dan matanya terbelalak bagaikan kelinci tertangkap pemburu, membuat Kim Han Seng semakin berani. Tangan Kim Han Seng merayap menjalar kearah buah dada yang ranum dengan puting yang mencuat kemerahan di kedua puncak bukit tersebut. Dengan tangan gemetar tanda ia tidak bisa mengontrol dirinya lagi, tangan Kim Han Seng semakin liar meremas dan meraba ke dua bukit kembar yang ranum tersebut dengan gemas. Tubuh Li Bi Li tergetar keras, hatinya menjerit memanggil-manggil nama Tan Hong, dari balik celah mata yang lentik tersebut keluar air mata menetes perlahan di pipinya yang putih mulus. Melihat itu sambil tertawa terkekeh-kekeh kesenangan Kim Han Seng membaringkan tubuh Li Bi Li di permukaan tanah. Dengan ketergesaan yang tinggi ia mencopot baju dan celana yang dikenakannya hingga dalam waktu sekejap ia berdiri di hadapan Li Bi Li dengan tubuh telanjang bulat. Senjatanya menjulang tegang siap menerobos segala rintangan apapun. Li Bi Li mengatupkan kedua belah matanya rapat-rapat, bibirnya yang ranum digigitnya kencang-kencang menahan gejolak perasaan. Ia tidak memperdulikan segala sesuatu, diam-diam ia berpacu waktu mencoba membuka jalan darah yang tertutuk sebelum segalanya terlambat. “Tidak usah membuang tenaga percuma, tutukanku itu tidak akan bisa engkau bebaskan dengan segera. Nona Li, sungguh sayang seselesainya nanti aku harus menutup mulutmu selamanya, kecantikan yang engkau miliki sungguh jarang namun apa boleh buat, engaku sudah mengetahui rahasiaku” kata Kim Han Seng sambil berjongkok kearah Li Bi Li. Kim Han Seng mencondongkan tubuhnya untuk menindih tubuh Li Bi Li namun di detik-detik yang sangat membahayakan kehormatan Li Bi Li, sekonyong-konyong gerakannya terhenti mendadak. Dari balik punggung Kim Han Seng terdengar suara sedingin es. “Kim Han Seng, lepaskan Bi Li!” Dengan gerakan sebat Kim Han Seng melompat dan mebalikkan badanya kearah suara tersebut. Tampak Tan Hong dengan wajah membara, dengan sinar mata yang berkilat-kilat tanda dirinya sangat emosi, berdiri tegap di hadapan Kim Han Seng. “Hmm rupanya engkau masih hidup Tan Hong, kembali engkau menghalangi niatku” kata Kim Han Seng geram. Buru-buru ia mengenakan kembali pakaiannya. “Jadi orang berkedok yang mengancam Kwee-moi waktu itu adalah engkau, sungguh sukar dipercaya perbuatanmu itu Kim-heng” sahut Tan Hong. “Ha..ha..ha kali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku Tan Hong” jawab Kim Han Seng sambil menyerang tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu. Sambil melompat menghindar, Tan Hong membalas dengan jurus-jurus terampuh. Ia dan Kim Han Seng pernah bergebrak sewaktu Kim Han Seng menyamar sebagai jai-hoa-cat dan hampir merenggut kehormatan Kwee Sian, sehingga Tan Hong tahu ilmu silat Kim Han Seng sukar diukur dan sangat berbahaya. Lebih-lebih beberapa waktu yang lalu ia terluka parah di tangan ayah Kim Han Seng, Kim Jiu Tok. Selama beberapa bulan ini sambil merawat luka-lukanya, Tan Hong mengenang kembali peristiwa yang hampir merengut nyawanya. Kecerobohan dengan menganggap enteng ketua perkampungan Kim-khe-san-ceng hanya berdasarkan dugaan ilmu silat Kim Han Seng dan Bok-Lam tidak seberapa tinggi menjadi pelajaran sangat berharga baginya. Terjadilah pertarungan maut antara dua pemuda yang sama-sama sakti. Pertandingan kali ini masing-masing pihak mengerahkan segala kemapuan yang dimiliki terlebih buat Tan Hong yang baru saja sembuh dari luka-luka berat yang dideritanya. Hal tersebut sedikit banyak mengurangi kelincahannya. Tidak demikian dengan Kim Han Seng, ia tahu ilmu silat Tan Hong tidak boleh dibuat main-main, dengan segenap kekuatan ia menyerang dan berusaha menekan lawan agar tidak dapat mengembangkan jurus-jurus simpanan. Di dalam hati masing-masing sepakat pertarungan ini harus diselesaikan secepatnya. Bagi Kim Han Seng semakin cepat ia merobohkan Tan Hong semakin berkurang bahaya yang akan dihadapinya. Diam-diam ia takut Li Bi Li dapat membebaskan jalan darahnya dengan cepat. Menghadapi Tan Hong saja ia merasa sungguh berat apalagi dengan bantuan Li Bi Li. Sedangkan bagi Tan Hong, diam-diam juga khawatir Kim Han Seng tidak datang sendirian, terlebih melihat keadaan Li Bi Li yang tidak boleh di lihat orang. Puluhan jurus berlalu keadaan masih berimbang, kedua pihak saling serang dan berusaha di atas angin. Suatu ketika dengan gerakan Pek-pok-kie-hie (egos serangan, tubruk kosong), jari sakti Tan Hong berhasil menyentil pundak kanan Kim Han Seng. Dengan tercekat buru-buru Kim Han Seng melangkah mundur dengan gerakan tuipo-lian-huan (gerakan mundur berantai), bahu kanannya terasa sakit sekali. Tan Hong tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, serangkaian serangan dahsyat kembali melanda Kim Han Seng. Tangan kiri Tan Hong entah sejak kapan mengenggam tiga butir batu kecil lagsung disentilkan kearah Kim Han Seng yang masih kelabakan, meluncur dengan kecepatan kilat ke mata dan dahi. Sambil mengeluarkan jeritan menyayat hati, Kim Han Seng kabur dari tempat tersebut bagaikan banteng yang terluka. Sebutir batu yang disentil Tan Hong berhasil mengenai mata kiri Kim Han Seng dengan telak hingga biji matanya pecah, dari kelopak mata Kim Han Seng mengalir darah segar. Sakit yang dirasakan Kim Han Seng sampai ke ubun-ubun kepala. Seketika nyali Kim Han Seng kuncup segera, secepatnya ia mengambil langkah seribu sebelum terlambat. Sebenarnya kalau mau bisa saja Tan Hong mengejar Kim Han Seng tapi ia khawatir Kim Han Seng datang bersama Kim Jiu Tok, maka ia bergegas menghampiri Li Bi Li yang masih terlentang tak berdaya dengan tubuh telanjang bulat. “Bi-Li-moi, engkau tidak apa-apa?” tanya Tan Hong hati-hati sambil membuka jalan darah yang tertutuk. Begitu jalan darahnya lancar kembali, dengan wajah merah karena malu Bi Li langsung berlari ke tumpukan pakaian lalu mengenakan pakaiannya di belakang semak belukar. Melihat kelakuan Bi Li, Tan Hong tersenyum simpul dan bergumam sendiri “Kok pakai malu-malu segala, aku toh sudah melihatnya semalam bahkan lebih dari itu” Di balik belukar walaupun mengenakan pakaian terburu-buru namun gumanan Tan Hong terdengar juga oleh Li Bi Li. Dengan wajah makin memerah Li Bi Li keluar dari semak belukar langsung berjalan kearah Tan Hong. “Bicara apa tadi?” tanyanya sambil merajuk “Lho aku tidak bicara apa-apa?” jawab Tan Hong pura-pura pilon “Jangan bohong, orang lagi kesusahan malah di olok-olok” seru Bi Li manja “Baiklah, maaf ya Bi Li moi, terima kasih untuk semalam” kata Tan Hong Wajah Bi Li yang cantik rupawan kembali bersemu merah mendengar ucapan Tan Hong. Dia diam membisu sambil menundukkan kepala. “Bi-Li-moi sebaiknya kita segera pergi dari sini, aku khawatir Kim Han Seng datang tidak sendirian” kata Tan Hong memecahkan keheningan. “Biarkan saja, malah kebetulan kalau dia berani balik lagi ke sini, biar aku sendiri yang menghadapi si jahanam itu” jawab Li Bi Li dengan marah. Harga dirinya sangat terluka dihina Kim Han Seng sedemikian rupa, kalau bisa ingin sekali ia memenggal kepala Kim Han Seng berkali-kali untuk melampiaskan kemarahannya. “Aku mengerti perasaanmu Bi-Li-moi tapi engkau tahu keadaanku saat ini belum pulih seratus persen, belum lagi rahasia yang kita temukan di gua tersebut tidak boleh diketahui orang lain” sambung Tan Hong sabar. “Jangan khawatir Hong-ko, aku jamin tidak ada yang dapat menemukan gua tersebut” sahut Bi Li. “Aku juga yakin, tapi engkau harus tahu sejak semula aku sudah mencurigai Kim Han Seng adalah jai-hoa-cat yang selama ini malang melintang di sungai telaga. Kalau menghadapi dia seorang tidak masalah tapi apabila ia datang bersama ayahnya, masalah besar bakal menghadang kita, Kim Jiu Tok tidak boleh di anggap main-main Bi-Li-moi” sambung Tan Hong. Sambil bersunggut-sunggut akhirnya Li Bi Li mengerti situasi yang mereka hadapi. Berdua mereka bergegas meninggalkan kolam air terjun tersebut menuju gua persembunyian. Sepanjang perjalanan Tan Hong menceritakan mengapa ia sampai mencurigai Kim Han Seng sebagai jai-hoa-cat. Dalam seri perkampungan misterius diceritakan usaha Tan Hong menyelidiki kematian tabib Loh dan putrinya Loh Bwe Li yang misterius. Hasil serangkaian penyelidikan selama hampir dua tahun, kecuigaannya mengarah pada perkampungan Kim khe san ceng. Selain itu dalam proses penyelidikan, ia juga mendengar sepak terjang jai-hoa-cat yang mengenakan pakaian hitam berkedok. Kemudian ketika ia menginap di Paviliun Seribu Pedang, ia tanpa sengaja menyaksikan pertempuran dua orang berkedok hitam yang ia yakini adalah Kim Han Seng dan Bok-Lam. Tan Hong yakin keduanya adalah saudara seperguruan. Awalnya ia tidak tahu permusuhan apa yang menyebabkan keduanya bertanding matian-matian di malam itu. Tapi jika dugaannya benar bahwa Kim Han Seng adalah jai-hoa-cat, salah satu korban jai-hoa-cat adalah Hu Bi Li, anak gadis satu-satunya ketua Hoa-San-Pai, Master Hu. Kabarnya Hu Bi Li adalah teman Kim Han Seng di waktu kecil. Hu Bi Li ditemukan tewas diperkosa jai-hoa-cat. Hasil penyelidikan Tan Hong, Hu Bi Li dan Bok-Lam sebenarnya adalah sepasang kekasih. Kalau dugaannya benar, Kim Han Senglah yang memperkosa Hu Bi Li. Bok-Lam agaknya juga mencurigai Kim Han Seng, terbukti keduanya bertanding mati-matian di tengah malam buta di paviliun seribu pedang. Sesampainya di gua mereka membersihkan gua tersebut dari tanda-tanda kehadiran mereka, berjaga-jaga bila akhirnya gua itu ditemukan juga. Bulan kedua Li Bi Li merawat luka-luka yang diderita Tan Hong, mereka secara kebetulan menemukan sebuah rahasia dibagian belakang gua itu. Di bagian depan gua itu berbentuk bundar dengan ruangan utama yang cukup besar untuk tempat berdiam sementara. Gelap dan lembab mendominasi suasana di bagian belakang ruangan utama, terhubung melalui sebuah lorong yang menjorok ke dalam. Lorong tersebut cukup dalam, kira-kira beberap puluh langkah kai sebelum bercabang dua, lorong yang satu ke kiri, yang lain ke kanan. Mereka mendapati lorong sebelah kiri adalah lorong buntu, lalu mereka kembali dan mencoba menyusuri lorong sebelah kanan. Tinggi lorong tersebut kira-kira seukuran dengan tinggi badan Tan Hong sehingga mereka bisa berjalan tanpa harus membungkukkan badan. Sedangkan lebar gua tersebut awalnya hanya cukup untuk memuat satu orang, tidak bisa berjalan berandengan, harus satu per satu. Tapi kemudian lebar lorong itu melebar sehingga mereka bisa berjalan bersamaan. Ternyata beberapa belas langkah kemudian terdengar suara gemuruh air di kejauhan. Merasa keheranan mereka bergegas maju menuju akhir lorong. Kira-kira beberapa puluh langkah kemudian, mereka sampai di ujung lorong. Suara gemuruh air semakin keras terdengar, ternyata suara tersebut berasal dari sebuah air terjun kecil setinggi kurang lebih beberapa kaki!. Air terjun di dalam permukaan bumi, sungguh merupakan pemandangan yang sangat indah. Dari ujung lorong tersebut menuju air terjun terdapat berbagai batu besar yang di susun demikian teratur berbentuk semacam barisan. Ruangan terbuka tersebut memiliki lekukan yang cukup besar dikelilingi dinding-dinding bebatuan alam yang licin. Pengalaman Tan Hong berkelana di sungai telaga lebih matang daripada Li Bi Li. Penemuan ini walaupun sangat mengherankan tapi lapat-lapat naluri Tan Hong mengatakan agar tidak sembarangan melewati barisan batu tersebut. Kelihatan barisan batu itu di susun berdasarkan semcam barisan pat-wa yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lebih rumit. Sekian lama mengamati barisan tersebut baik Tan Hong dan Li Bi Li belum dapat menemukan cara terbaik melewatinya. Menimbang keadaan Tan Hong yang belum pulih akhirnya mereka kembali ke gua depan dan sementara berusaha menyembuhkan luka-luka Tan Hong hingga pulih sediakala sebelum menyelidiki lebih lanjut penemuan tersebut. 4. Peninggalan Jenius Silat Selesai membersihkan gua, mereka lalu menuju bagian belakang gua. Sejak penemuan barisan baru beberapa waktu yang lalu, Tan Hong sibuk memikirkan jalan keluar untuk melewati barisan tersebut. Menurut dugaannya barisan batu itu pasti dilengkapi dengan senjata rahasia atau jebakan. Sedangkan bagaimana cara melewati barisan batu yang tersusun seperti pat-wa (segi delapan), ia punya beberapa bagian keyakinan. Ia pernah mempelajari seluk beluk barisan pat-wa sewaktu masa remaja. Tak berapa lama berjalan, lamat-lamat sudah terdengar suara gemuruh air terjun. Sesampai di ujung lorong terlihat ruangan terbuka dengan barisan batu masih dalam keadaan seperti waktu mereka pertama kali datang. Dengan posisi paling depan diikuti Bi Li di belakang, mereka memasuki barisan batu tersebut. Tan Hong melangkah dengan hati-hati sekali, kadang kala kakinya melangkah ke kiri beberapa langkah lalu berbelok ke kanan dua langkah. Setiap langkah Tan Hong diikuti Bi Li sama persis, hatinya berdebaran tegang. Tak terasa mereka sudah berada di bagaian tengah barisan batu itu, sejauh ini tiada halangan menghadang. Suatu kali Tan Hong sedikit salah melangkah, begitu kaki kirinya menginjak permukaan batu, tiba-tiba permukaan batu tersebut anjlok ke bawah beberapa dim. Sesaat tidak ada kejadian apapun, namun untung Tan Hong waspada. Begitu terasa kakinya melesak ke bawah sambil mengandeng Bi Li, mereka bersalto di udara beberapa kali ke depan. Pada saat yang bersamaan dari balik dinding tebing di sekeliling barisan batu itu meluncur ratusan anak panah mengarah ke tempat Tan Hong dan Bi Li berdiri barusan. Syukur reaksi Tan Hong dan Bi Li cukup cepat hingga puluhan anak panah tersebut gagal mengenai sasaran. Sambil melayang di udara baik Tan Hong dan Bi Li sibuk menyampok sambaran anak panah dengan kibasan tangan berisi tenaga sakti. Tubuh Tan Hong melayang turun di luar barisan batu, mereka berhasil melewati barisan itu. Bi Li menyeka keringat di wajahnya yang cantik, diam-diam ia menghela nafas lega mereka lolos dari jebakan barisan batu tersebut. Suara air terjun semakin keras terdengar, lapat-lapat mereka melihat ada gua kecil di balik tirai air terjun. Curahan air dari atas cukup deras terbukti suara gemuruh air terjun cukup memekakkan telinga. Tan Hong dan Bi Li berjalan menyusuri pinggir tebing menuju gua kecil dibalik air terjun. Baju mereka berdua tidak luput dari percikan air hingga dalam sekejap keduanya basah kuyup. Sesampai di balik air terjun tersebut terjadi sedikit keanehan. Suara gemuruh air terjun yang tadi begitu keras, sekarang tidak terlalu keras lagi. Hal ini disebabkan disekeliling limpahan air terjun itu tumbuh tanaman menjalar yang sangat lebat hingga menutupi sebagian besar lubang gua. Sambil menghalau dahan-dahan tanaman itu, Tan Hong dan Bi Li menyusup ke dalam gua. Suara gemuruh semakin lemah terdengar, suasana gua cukup gelap namun udara didalam gua terasa sangat segar, tak tercium bau pengap sedikitpun. Tan Hong menduga bagian dalam gua itu mempunyai lorong yang tidak buntu. Ruangan gua itu sendiri tidak begitu besar, luasnya kira-kira belasan kaki. Bi Li mengeluarkan mutiara yang bersinar-sinar, cahayanya cukup menerangi ruangan gua. Di sebelah kiri ruangan gua terdapat semacam altar batu dengan sebuah patung Buddha di tengah. Patung itu cukup besar, menempati hampir seluruh bagian altar. Kedua tangan patung Buddha tersebut bersidekap di bagian perut seolah bersamadhi. Di antara kedua tangan patung itu nampak memegang sebuah kotak kecil berwarna hitam. Tan Hong menghampiri patung itu, mula-mula ia sedikit ragu mengambil kotak kecil tersebut, takut ada jebakan tersembunyi di sekeliling patung. Berdiri beberapa saat mengamati keadaan sekeliling altar akhirnya Tan Hong yakin tidak ada jebakan tersembunyi di sana. Dengan hati-hati diambilnya kotak kecil tersebut. Walaupun kecil tapi ternyata kotak besi itu cukup berat, hampir saja kotak tersebut jatuh. “Hong-ko, kotak apa itu?” tanya Bi Li sambil menghampiri Tan Hong. “Entahlah, aku ragu apakah kita boleh membukanya” jawab Tan Hong “Eh..di bagain atas kotak ada sebarisan tulisan” seru Bi Li terkejut. “Wah benar…engkau sungguh jeli Bi-Li-moi” Tulisan di atas kotak tersebut tertutup debu yang sudah mengeras selama bertahun-tahun. Tulisan itu sendiri menggores permukaan kotak besi sehingga begitu tertutup debu, permukaan kotak menjadi rata menyembunyikan tulisan tersebut. Buru-buru Tan Hong mengorek-orek debu yang menutupi tulisan itu dan membacanya… “Bagi siapa yang mendapatkan kotak besi ini berarti berjodoh denganku. Kunci mempelajari ilmu silat maha lihai ada di dalam. Li Kun Liong.” “Ternyata tempat ini bekas temapt tinggal couwsu kami, Master Li” kata Bi Li hikmat. “Sungguh tak terduga, dicari-cari selama puluhan tahun ternyata kita yang berjodoh mewarisi peninggalan Master Li” sambung Bi Li. “Bukan kita tapi engkau sebagai keturunan langsung beliau lebih berhak atas kotak ini, Bi-Li-moi” kata Tan Hong sambil menyerahkan kotak ke tangan Bi Li. “Tidak..tidak..Hong-ko, tanpa bantuanmu aku pasti tidak akan menemukan tempat ini. Lagipula couwsu sendiri bilang kotak ini diperuntukan bagi mereka yang menemukannnya, berarti engkau juga berhak atas isi kotak ini” “Sudahlah, mari kita lihat dulu isinya, siapa tahu selama ratusan tahun sudah ada orang yang terlebih dahulu mendapatkannya” sahut Tan Hong. Namun ternyata kotak kecil tersebut tidak bisa begitu saja dibuka, di bagian tengah terdapat semacam tombol bundar yang bisa diputar ke kiri dan ke kanan. Tan Hong dan Bi Li berusaha memutar-mutar tombol itu beberapa kali namun kotak tersebut tetap tidak dapat dibuka. Saking penasaran, setengah harian berlalu mereka berdua berkutat mencoba membuka kotak besi itu namun sia-sia saja. “Sudahlah Bi-Li-moi, mungkin untuk membuka kotak ini kita harus mempunyai kunci atau kombinasi tertentu” kata Tan Hong sambil memeriksa sekeliling altar mencari petunjuk. Meja altar itu sendiri kosong tak ada satu bendapun selain patung Budda di tengah altar. Sekonyong-konyong mata Tan Hong beralih ke tangan patung tersebut. Kedua tangan patung yang saling bersidekap posisi jari tangan sedikit berbeda. Jari tangan kanan hanya dua yang tertekuk sedangkan ketiga jari yang lain menunjuk kearah sebelah kiri. Sedangkan jari tangan kiri patung tertekuk empat jari menyisakan ibu jari saja yang mengarah ke kanan. Melihat posisi kedua tangan patung itu, sekonyong-konyong terbersit secercah pikiran di kepala Tan Hong. “Bi-Li-moi coba engkau putar tombol di kotak itu ke kiri sebanyak tiga kali penuh lalu putar ke kanan hanya satu kali saja” seru Tan Hong. Bi Li memutar tombol sesuai permintaan Tan Hong, begitu selesai dilakukan tahu-tahu bagain atas kotak terbuka perlahan-lahan. “Hong-ko..berhasil..engkau sungguh hebat..darimana ide memutar tombol itu?” tanya Bi Li kagum “Aku lihat kedua tangan patung yang memegang kotak itu agak aneh, berlainan dengan patung-patung sejenis. Jadi aku rasa kunci untuk membuka kotak itu pasti ada di sekitar kotak tersebut. Dalam hal ini berarti ada di kedua tangan patung ini” jawab Tan Hong gembira. Kemudian mereka mengalihkan perhatian ke dalam kotak. Di bagian atas kotak itu dipenuhi butir-butir mutiara sebesar ibu jari, cahayanya langsung memenuhi ruangan gua. “Sungguh indah…, entah untuk apa couwsu mengumpulkan mutiara ini” seru Bi Li sambil menaruh beberapa butir mutiara di tangan. “Mungkin mutiara-mutiara ini buat penerangan Master Li” duga Tan Hong sambil mengeluarkan mutiara-mutirara itu dari kotak. Di bawah lapisan mutiara, terlihat sebuah kitab kuno. Di atas kitab itu tertulis sebaris kalimat…“Kitab Ilmu Silat Tanpa Jurus” “Tanpa Jurus…?” kata Tan Hong sambil termenung. Bi Li ikut bingung memikirkan kalimat tersebut, diangkatnya kitab itu dan dibukanya. Dihalaman pertama, ada beberapa kalimat pembuka… Syarat pertama untuk mempelajari ilmu silat “Tanpa Jurus” seseorang terlebih dahulu harus melupakan semua ilmu silat yang pernah ia pelajari. Tanpa itu, mustahil mencapai tingkat kesempurnaan. Lohu berhasil menciptakan ilmu silat ini justeru karena ilmu silatku punah namun kedahsyatannya jauh berkali lipat dari sebelumnya. Hanya saja lohu tidak mau memaksa orang untuk memusnahkan ilmu silat dan tenaga dalam sendiri demi mempelajari ilmu ini. Semuanya berpulang pada diri sendiri. “Sungguh ilmu silat yang aneh…siapakah yang rela memusnahkan ilmu silat yang susah payah dipelajari” kata Tan Hong tak yakin. “Bi-Li-moi, coba engkau buka halaman selanjutnya” Di halaman ke dua, lagi-lagi hanya berisi sepenggal kalimat saja… Setelah kepandaianmu dimusnahkan, camkan kata-kata ini “Sebenarnya ilmu silat sekali dipelajari tidak mungkin dilupakan, yang benar adalah dilebur menjadi baru.” “Apa maksud kalimat ini?” kata Tan Hong sambil berpikir keras. Bi Li tak menjawab, ia meneruskan membuka halaman selanjutnya… Untuk mempelajari ilmu silat “Tanpa Jurus” resapi kalimat-kalimat berikut… “Hidup senantiasa berubah, begitu pula jurus silat, selalulah berubah-ubah sehingga lawan tak mampu menebak. Untuk dapat selalu berubah, serang lawan tanpa jurus” “Kosong tapi isi, isi tapi kosong” “Menyerang adalah jurus bertahan yang paling hebat” “Di balik ketidakteraturan terdapat keteraturan” Membaca kalimat-kalimat tersebut, benak Tan Hong bagaikan dihajar sepotong batu besar. Ia merasa kalimat-kalimat tersebut memiliki arti yang sangat dalam. Walaupun ia dapat menangkap sedikit inti sari, tidak mungkin dalam waktu sekejap ia memahami maksud kalimat-kalimat tersebut. Tan Hong berdiam diri, termenung melupakan sekelilingnya. Li Bi Li sendiri tidak mengerti sama sekali maksud kalimat tersebut. Melihat Tan Hong begitu kesengsem melihat kitab tersebut, Bi Li meninggalkan Tan Hong sendiri dan mulai berkeliling memeriksa bagian lain gua tersebut. Bi Li berjalan kearah sebelah kanan ruangan gua. Bagian dinding gua itu dipenuhi lumut-lumut. Tak ada sesuatu yang aneh di situ, Bi Li melangkah kearah belakang namun tiba-tiba kakinya terpeleset menginjak lumut yang licin. Otomatis tangannya mencari pegangan, sekenanya tangan kanan menyambar kearah tonjolan batu di dinging terdekat. Terdengar bunyi krekk..tahu-tahu dinding sebelah kanan bergerak membuka. Nampak di dalam dinding tersebut masih ada ruangan lain. “Hong-ko..cepat kemari” seru Bi Li. Tan Hong tersadar begitu mendengar teriakan Bi Li. Buru-buru ia menghampiri. “Ada apa Bi-Li-moi?” tanya Tan Hong “Tadi aku tiba-tiba terpeleset dan memegang tonjolan batu itu di dinding, lalu dinding bagain tengah terbuka. Coba engkau lihat” kata Bi Li. “Mari kita masuk bersama-sama” kata Tan Hong mendahului jalan. Mereka berdua menyelinap di balik celah dinding yang terbuka, mengarah pada sebuah ruangan lain. Ruangan itu tidak terlalu luas. Di sudut ruangan terlihat sebuah dipan batu berisi seonggok tulang belulang manusia. Seluruh bagian dinding ruangan itu penuh gambar-gambar dan huruf-huruf kecil dibawahnya. Lukisan gambar-gambar itu penuh dengan berbagai macam posisi. Ada yang sedang memegang pedang dengan kaki kiri terangkat, ada gambar seseorang dalam posisi Samadhi, ada pula gambar dengan posisi tangan kosong dan lain-lain. “Rupanya ruangan ini adalah tempat Master Li berlatih silat. Kalau dugaanku tidak salah tengkorak di sana adalah tulang belulang couwsumu” kata Tan Hong. Tan Hong dan Bi Li menghampiri dipan batu tersebut dan berlutut menghormat jenius silat paling kesohor ratusan tahun yang lalu. 5.Sepasang Harimau Tumbuh Sayap Senja mulai temaram, rona senja mulai berganti dengan semburat cahaya bulan. Mereka akhirnya memutuskan untuk sementara tinggal di dalam gua ini untuk menghindari kejaran Kim Han Seng dan Kim Jiu Tok. Keadaan gua mulai gelap dan lembab, dinginnya langit terbuka tanpa awan telah pula menerobos lewat, hempasan angin menderu-deru. Tan Hong buru-buru mengumpulkan rumput ilalang dan dedaunan kering di salah satu sudut gua, sementara Bi Li menyiapkan makanan ala kadarnya. “Hong-ko, sudah belum? Mari kita makan dulu” ajak Bi Li “Hampir selesai Bi-Li-moi, coba engkau lihat, lumayan khan?” kata Tan Hong sambil tersenyum puas. “Lho kok pembaringannya cuma satu” sahut Bi Li keceplosan “Lha, memangnya harus berapa?” tanya Tan Hong berlagak pilon. Rona merah di wajah Bi Li yang cantik kembali bersemu. “Huhh.. dasar!!” serunya manja. Tan Hong nyengir kuda dan berkata “Ayo makan, aku sudah lapar nih” Tan Hong memuji hidangan yang disiapkan Bi Li. Mereka menghabiskan malam itu sambil berbincang, bercanda dan memadu kasih bagaikan sepasang sejoli di mabuk asmara. Keesokan paginya, Tan Hong mulai membuka kitab “Ilmu Silat Tanpa Jurus” dan langsung tenggelam dalam bacaan. Pada bagian awal kitab itu lebih banyak menceritakan proses penyembuhan Master Li akibat luka-luka yang dideritanya. Banyak nama-nama tanaman, jamur-jamur dan cara-cara meracik hingga detail. Kepala Tan Hong sampai pusing membaca istilah-istilah pertabiban yang tidak dimengertinya. Dia tidak menyadari apabila yang membaca adalah seorang tabib, nilainya mungkin jauh lebih besar dari sekarung bongkahan emas murni. Seperti yang diketahui selain terkenal akan kejeniusan ilmu silatnya, Master Li juga terkenal akan ilmu pertabiban. Kemudian di bagian pertengahan barulah di singgung pengalaman Master Li ketika seluruh ilmu silat yang ia miliki musnah total serta usahanya memulihkannya. Mulai dari menggunakan obat-obatan hingga mengembara nun jauh ke pegunungan Kun Lun San. Jerih payah selama belasan tahun tersebut ternyata tidak sia-sia. Berkat ketekunan dan semangat yang tinggi, Master Li mneyebutkan bahwa ia berhasil melatih sejenis ilmu tenaga dalam baru. Proses penciptaan aliran tenaga dalam tersebut tidak terlepas dari bantuaan para pertapa yang ia jumpai selama pengembaraan di pegunungan Kun Lun San hingga pegunungan Thai-San dan bahkan hingga ke negeri Tay-Lie. Entah berapa puluh kali rintangan yang harus ia hadapi, mulai dari perampok hingga serangan binatang buas. Ilmu tenaga dalam itu sendiri sebenarnya cukup sederhana dan mudah dipahami oleh ahli silat setaraf kelas satu. Yang sukar adalah menerapkan atau meleburnya dengan aliran tenaga dalam yang ada. Hal ini ia ketahui beberapa puluh tahun kemudian. Ia pernah mengajarkan ilmu tenaga dalam tersebut pada seseorang, namun hasilnya jauh dari memuaskan. Padahal orang tersebut memiliki kecerdikan dan bakat yang baik sekali. Kesimpulannya, untuk mempelajari ilmu tenaga dalam ciptaannya ini, seseorang harus terlebih dahulu memusnahkan ilmu silat yang dimiliki. Kesimpulan ini ia tarik berdasarkan pengalaman pribadi, di mana ia berhasil menguasai ilmu tenaga dalam tersebut sampai ke puncaknya. Dalam kitab itu Master Li juga menceritakan kedahsyatann ilmu ciptaannya itu. Sebelum ilmu silatnya musnah, tenaga dalam yang ia kuasai boleh dibilang sudah hampir mencapai taraf tertinggi. Tapi jika dibandingkan dengan keadaannya sekarang, bagaikan bumi dan langit. Kemajuan tenaga dalamnya berkali-kali lipat dari sebelumnya. Ia bahkan bisa menghimpun tenaga sakti di ujung jari dan menyentil hawa sakti tersebut hingga puluhan kaki jauhnya. Suatu saat pernah ia membinasakan kelinci hanya dengan sentilan jari tangan dari jarak puluhan langkah. Bukan itu saja, batang pohon seukuran pelukan dua orang dewasa, bagian dalamnya hancur menjadi bubuk hanya di tepuk perlahan saja. Hebatnya lagi, dari luar pohon itu masih nampak berdiri kokoh seperti semula. Namun begitu di tiup angin, perlahan-lahan tumbang diiringi bubuk kayu berterbangan mengikuti hembusan angin. Di samping itu, berkat ilmu ciptaannya ini, Master Li selalu merasa segar dan nyaman sepanjang hari. Ia menduga dengan melatih ilmu ini terus menerus, seseorang dapat berusia panjang dan selalu bugar, terbukti saat ia mennulis kita ini, usianya sudah berumur seratus tahun lebih. Selain itu berbagai ragam jenis ilmu silat yang ia pelajari sepanjang hidup membaur menjadi satu kesatuan secara otomatis. Cara memandang ilmu silat menjadi berubah total, semua variasi jurus-jurus silat seolah tiada arti dalam pandangannya. Pengertian ilmu silat menjadi sangat mendalam hingga cukup melihat satu gerakan awal suatu jurus, dapat diketahui kelemahan jurus tersebut. Dengan demikian semua jurus seolah beubah menjadi tanpa jurus di mata seseorang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan. Tan Hong meleletkan lidahnya saking kagum membaca uraian kehebatan ilmu tenaga dalam yang berhasil dikuasai Master Li. Mimpipun ia tidak bisa membayangkan dapat menguasai setengah dari taraf yang berhasil di raih Master Li. Kemudian di bagian akhir kitab tersebut, Master Li memberikan uraian mendetail bagaimana cara melatih ilmu maha sakti tersebut. Uraian yang diberikan begitu jelas dan mendetail hingga dapat dengan mudah diikuti alurnya. Lalu di halaman terakhir, Master Li memberikan kata akhir bahwa sekali lagi ia tidak mau memaksa siapapun untuk memusnahkan tenaga dalam sendiri. Ia mengakui belum tentu kesimpulan yang ia tarik tersebut benar seratus persen, mungkin saja seseorang nantinya akan menemukan suatu cara untuk melebur tenaga dalam yang dimiliki dengan ilmu tenaga dalam ini. Ia berharap siapapun yang melatih ilmu ini agar berhati-hati menggunakannya. Apabila sudah mencapai taraf seperti dirinya, kedahsytan dan kehebatannya sungguh sukar ditemui ratusan tahun mendatang. Kalau Tan Hogn asyik membaca kitab ilmu silat, Bi Li sibuk mempelajari lukisan gambar di dinding di ruangan di mana mereka menemukan tengkorak Master Li. Ada puluhan gambar dengan berbagai macam posisi dan di bagain bawah setiap gambar terdapat tulisan kecil menerangkan posisi yang bersangkutan. Secara umum gambar-gambar di dinding tersebut terbagi atas tiga jenis ilmu. Yang pertama yaitu gambar-gambar yang memperagakan sejenis ilmu pedang. Ada dua puluh empat posisi dengan dua puluh empat jurus pedang. Setiap posisi memiliki variasinya tersendiri sehingga total jurus pedang bisa mencapai ratusan jurus. Hanya membaca uraiannya saja sudah membuat kepala Bi Li pusing tak keruan. Buru-buru ia mengalihkan perhatiannya ke bagaian gambar-gambar yang kedua yaitu posisi dengan gerakan-gerakan tangan kosong. Jelas terlihat ilmu yang diperagakan adalah ilmu tangan kosong. Namun sama seperti gambar-gambar di bagian pertama, tidak mudah mengerti hanya dengan sekali melihatnya saja. Kemudian Bi Li mulai mengalihkan perhatianya ke bagian gambar yang ketiga. Di sini perhatian Bi Li ia tumpahkan seluruhnya. Posisi-posisi di bagian ketiga ini memperagakan sejenis ilmu meringankan tubuh yang dikombinasikan dengan gerakan langkah ajaib. Di bagian paling bawah dinding terlihat enam puluh empat jejak kaki. Tiap jejak kaki di beri nomor hingga berjumlah total enam puluh empat jejak kaki. Namun yang aneh adalah ketidakberaturan langkah-langkah tersebut seperti ilmu jejak langkah yang lazim. Bi Li mencoba membayangkan alur jejak langkah ajaib tersebut tapi ia merasa tidak dapat melakukan sesuai urutan karena hal tersebut mustahil dilakukan. Misalnya saja di jejak kaki ke lima menuju ke jejak kaki ke enam, dengan posisi kaki kiri di angkat, ia harus melakukan putaran hampir tiga perempat lingkaran agar dapat menjalankan langkah ke enam. Namun itupun harus diikuti dengan gerakan tubuh yang hampir mustahil dilakukan. Di antara ke tiga jenis ilmu silat yang tertera di dinding tersebut, bagian terakhir ini yang paling menarik minat Bi Li. Tak terasa hari menjelang siang, baik Tan Hong dan Bi Li masing-masing sibuk mencurahkan perhatian mempelajari ilmu peninggalan Master Li, jenius silat masa lalu. Mereka hanya berhenti jika perut terasa lapar. Di waktu senggang terutama di malam hari mereka menelaah kemajuan masing-masing. Tan Hong sendiri sudah memutuskan untuk mempelajari ilmu yang tertulis di dalam kitab tersebut sedangan Bi Li lebih tertarik mempelajari ilmu-ilmu yang terukir di dinding terutama ilmu meringankan tubuh dengan kombinasi ilmu gerakan langkah ajaib. Tan Hong sendiri tidak mau mempelajari walaupun dibujuk-bujuk Bi Li karena ia tidak ingin konsentrasinya terganggu dengan ilmu lain. Namun apabila Bi Li mengalami kesulitan ia dengan senang hati membantu hingga walaupun tidak menguasai secara penuh tapi intisari ilmu-ilmu yang terukir di gua tersebut dapat dipahaminya. Hari demi hari, minggu demi minggu. Waktu terus berjalan tanpa henti. Hari-hari berlalu dengan cepat. Tak terasa, satu setengah tahun mereka berdiam di gua tersebut. Kemajuan yang diperoleh Bi Li sangat pesat, sebagain besar ilmu-ilmu yang terukir di dinding sudah dikuasainya terutama ilmu meringankan tubuh dan langkah-langkah ajaib. Tubuhnya yang ramping berkelabat bagai hembusan angin, ujung kakinya yang mungil seolah tak menginjak bumi, menutul dengan pesat kesana kemari bagaikan kupu-kupu yang berterbangan, baru lepas dari kepompongnya. Tan Hong sangat menikmati pemandangan itu, bagaikan bidadari menari dengan gerakan lemah gemulai. Namun jangan salah, dibalik kelemahlembutan itu tersembunyi kekuatan yang dashyat bagi lawan. Gerakan bagai kupu-kupu itu bisa berubah menjadi lebah yang menyengat, beterbangan seolah tanpa arah tapi sangat mematikan. Kalau Bi Li mengalami kemajuan yang sangat pesat, Tan Hong sebaliknya. Jika dibandingkan dengan satu setengah tahun yang lalu, kemajuannya mempelajari ilmu tenaga dalam yang tertulis di kitab Master Li sangat mengecewakan. Walaupun ia sudah berusaha keras mengikuti setiap petunjuk yang ada namun kemajuannya sangat sedikit bahkan boleh dibilang jalan di tempat. Mula-mula dengan susah payah ia berhasil menghimpun hawa sakti sesuai ajaran di dalam kitab. Memang awalnya tidak mudah mengumpulkan hawa sakti sesuai petunjuk namun berkat kecerdikan dan kemauannya yang keras setelah beberapa bulan ia berhasil. Tapi ketika ia berusaha menyatukan hawa tersebut dengan hawa sakti yang dimilikinya, kedua hawa sakti tersebut saling menolak bagaikan batu magnet yang berlainan kutub. Begitu seterusnya. Semakin keras ia berusaha membaurkan kedua tenaga sakti tersebut semakin gagal usahanya. Bahkan pernah saking kesalnya ia memaksakan diri hingga hawa sakti di dalam tubuhnya bergejolak hebat hingga akhirnya pingsan dan membuat Bi Li khawatir. Selama satu setengah tahun ini Tan Hong hampir putus asa, terlebih melihat kemajuan yang diraih Bi Li. Taraf ilmu silat Bi Li sekarang boleh dibilang hampir menyamai Tan Hong. Sia-sia saja Bi Li membujuk Tan Hong agar mempelajari ilmu yang terukir di dinding, Tan Hong tetap bersikukuh mempelajari ilmu tenaga dalam. Suatu hari di pagi yang cerah, dengan wajah yang kusut Tan Hong berjalan ke sungai di dekat gua tempat mereka berdiam. Sambil berendam ia melamun. “Sudah satu setengah tahun aku mempelajari ilmu tenaga dalam ini tapi hasilnya nol besar. Jangan-jangan apa yang disimpulkan Master Li benar adanya. Apakah aku harus memusnahkan tenaga dalamku terlebih dahulu?” pikir Tan Hong dengan hati gundah. Tak terasa sambil berendam di dalam air, entah apa yang mendorongnya, tahu-tahu Tan Hong mengumpulkan hawa sakti sesuai ajaran di kitab, lalu begitu terkumpul, dibawanya tenaga sakti itu kearah perut di mana hawa sakti yang lama berkumpul. Kali ini aneh bin ajaib, kedua tenaga sakti tersebut berbaur tanpa kesulitan sama sekali. Bagaikan seember air dituangkan ke dalam bak mandi, air di dalam ember tersebut menyatu bersama air di dalam bak. Hati Tan Hong melonjak kegirangan, bagaikan anak kecil mendapatkan sepotong permen, buru-buru ia mengarahkan tenaga sakti baru hari pembauran itu ke sekeliling tubuh. Hasilnya, begitu tenaga sakti itu berputar penuh di seluruh tubuh, badannya terasa sangat nyaman dan segar. Wajah yang tadi murung, tersapu digantikan raut wajah kegembiraan. Hampir tiga kali sepertanakan nasi Tan Hong berendam di dalam sungai dengan tekun. Hawa sakti baru sudah beberapa belas kali menyatu dengan hawa sakti lama, semakin lama hawa sakti yang berbaur tersebut berputar disekeliling tubuh, semakin besar kedashyatan hawa sakti tersebut. Akhirnya saking senangnya, Tan Hong mengeluarkan hawa sakti tersebut berupa siulan. Siulannya tidak keras memekakkan telingga namun suara siulan itu mengalun kencang menembus sunyinya keadaan disekitar, menyentak kaget binatang-binatang di sekitar hutan. Seiring perjalanan waktu, sepasang kekasih itu berubah menjadi sepasang harimau yang tumbuh sayapnya. Dalam beberapa bulan ke depan dunia persilatan berguncang hebat menyaksikan kedahsyatan ilmu silat sepasang harimau jantan dan betina ini. 6.Pusaka Bu-Tong-Pai Suara petikan dawai kecapi itu terdengar lembut mendayu-dayu menyelusup di antara kabut dan uap di lereng pegunungan Bu Tong San. Sangat indah di dengar. melebihi indahnya suara aliran air pegunungan pada musim semi, melebihi indahnya suara angin musim gugur di sebuah hutan, melebihi merdunya suara burung-burung pegunungan yang berkicau setelah hujan lebat. Bahkan melebihi keindahan hening pegunungan sunyi pada suatu malam musim salju. Bersandar di bongkahan batu besar tampak seorang tojin tua berusia sekitar enampuluh tahunan dengan wajah sendu memangku sebuah kecapi. Tangannya masih tampak bergerak-gerak lincah memetik dawai-dawai kecapi kesayangannya. Cringgggg....tringgggg.....jrenggg.....tang..ting. tung..teng..tong............(suara dawai kecapi mendayu-dayu) Awan berarak seputih kapas Sungai mengalir ke lautan lepas Mata memandang ke padang luas Kapankah kepedihan ini kan tuntas … Berdiri tak jauh dari si tojin itu terlihat sosok seorang pemuda berbaju hijau terpekur diam mendengarkan alunan kecapi itu. Wajah pemuda itu cukup tampan dengan penampilan yang perlente. Matanya tak lepas menatap si tojin dengan ekspresi susah ditebak. Tojin tua itu memandang pemuda dihadapannya dengan ekspresi kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Melihat wajah si pemuda membuatnya kembali terkenang dengan masa mudanya dahulu. Pertemuan ini adalah kali keduanya semenjak setahun berselang. Waktu itu di tempat yang sama, ia menikmati malam yang sunyi sambil memainkan kecapi tua. Mendadak entah dari arah mana, tahu-tahu si pemuda mengunjukkan diri dihadapannya. Ia masih ingat betapa terkejut dirinya saat itu. Ia sebagai ciangbujin Bu Tong Pai yang begitu kesohor tak menyadari sama sekali kedatangan si pemuda tersebut. Walaupun saat itu ia sedang tenggelam dalam alunan kecapi namun hal itu juga membuktikan ilmu silat si pemuda sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Seorang pemuda belum tigapuluh tahunan mampu mendekatinya dalam jarak sedekat ini tanpa diketahuinya sama sekali sungguh sukar dipercaya. Tapi kenyataan sudah di pelupuk mata, diam-diam Sim tojin meningkatkan kewaspadaannya. “Siapakah sicu ini…?” tanya Sim tojin sambil bangkit berdiri. Hatinya kembali tercekat ketika melihat jelas wajah si pemuda tersebut. Wajah itu sungguh mirip dengan dirinya di waktu muda. Pemuda itu sendiri tak memperdulikan pertanyaan Sim tojin, sebaliknya tanggan kirinya merogoh saku baju dan mengeluarkan seuntai kalung mutiara. Kalung itu terlihat berkilau di tengah kegelapan malam namun tampaknya Sim tojin mengenali kalung mutiara tersebut. Tubuhnya sedikit limbung menahan getaran keterkejutan di dalam diri. Sudah puluhan tahun ia tidak melihat kalung tersebut namun tentu saja ia masih mengenali kalung itu karena kalung tersebut adalah pemberian dirinya pada seorang gadis di masa muda. “Darimana kalung itu engkau peroleh?” tanya Sim tojin dengan suara tergetar haru. “Hmm…jadi engkau sudah tahu siapa gerangan diriku ini” sahut si pemuda dengan suara sedingin es. Dengan wajah penuh kepedihan Sim tojin menganggukkan kepalanya dan berkata dengan penuh haru “Bagai…mana ka..bar ibumu?” tanyanya dengan suara tersendat-sendat. “Beliau sudah meninggal belasan tahun yang lalu” jawab si pemuda dengan nada sedikit perlahan. Sekilas wajahnya diselimuti kesedihan mendalam namun dengan cepat tersapu, kembali dengan wajah dingin kejam. “Lohu gembira, engkau mau datang menjumpaiku” kata Sim tojin dengan wajah pilu. “Aku datang bukan untuk itu!” potong si pemuda cepat. “Aku datang bukan untuk minta dikasihani atau untuk sekedar ingin tahu siapa gerangan pria yang begitu kejam meninggalkan seorang gadis yang hamil muda hanya demi kedudukan ciangbujin. Aku juga bukan datang untuk mengakuimu sebagai ayahku karena aku tidak pernah mempunyai seorang ayah semacam dirimu” kata si pemuda dengan tajam. Hati Sim tojin seolah tenggelam di kedalaman jurang mendengar perkataan pemuda itu. “Lalu..apa maksud kedatangmu ke sini” tanya Sim tojin halus “Aku dengar, kalian Bu-Tong-Pai banyak memiliki benda-benda pusaka” pancing si pemuda “Memang benar, sejarah Bu-Tong-Pai sudah ratusan tahun lamanya dan tidak sedikit benda-benda pusaka yang kami miliki. Benda pusaka apa yang engkau kehendaki?” tanya Sim tojin heran dan menduga-duga. “Huhh..apa benar engkau rela memberikan harta pusaka Bu-Tong-Pai padaku?” sahut si pemuda ketus. “Engkau adalah anakku, apapun keinginanmu akan kupenuhi untuk menebus dosa-dosaku selama ini padamu dan ibumu” jawab Sim tojin. “Ha..ha..ha..sungguh memilukan hati mendengarnya” ejek si pemuda “Baiklah aku ingin engkau menyerahkan kitab pusaka “Thay-Kek-Kun” padaku, juga Siok-beng-wan (pil penyambung nyawa)” “Appa…dari mana engkau tahu kedua pusaka itu di simpan di Bu-Tong?” sahut Sim tojin untuk ke sekian kalinya mengalami keterkejutan. “Engkau tidak perlu tahu! Sekarang apakah engkau rela memberikannya padaku atau tidak?” desak si pemuda. Sim tojin mengeluh dalam hati, seberapapun menyesal dirinya terhadap segala perbuatannya di masa lalu, ia tidak berani mengkhianati Bu-Tong-Pai. Kitab Thay-Kek-Kun adalah kitab pusaka yang baru belasan tahun ini ditemukan kembali semenjak ratusan tahun yang lalu menghilang di telan bumi. Kitab itu sendiri adalah karya couwsu mereka, pendiri Bu-Tong-Pai, Thio Sam Hong. Di akhir hayatnya, Thio Sam Hong berhasil menciptakan ilmu pukulan Thay-Kek (Tai-Chi) yaitu sejenis ilmu yang memadukan ilmu tenaga dalam halus dengan keheningan mendalam, berpadu selaras dengan alam sekitar, menghasilkan kekuatan yang maha dahsyat di balik setiap gerakan lembut Thay-Kek. Kabarnya ilmu tersebut adalah inti sari ilmu silat yang diyakini selama puluhan tahun oleh couwsu mereka. Untuk menguasai ilmu Thay-Kek-Kun sampai taraf tertinggi sungguh tidak mudah. Selama sejarah Bu-Tong-Pai hanya Thio Sam Hong dan cucu muridnya Thio Bu ki yang mampu mencapai tingkat tertinggi ilmu ini. Sebelum menghilang ratusan tahun yang lalu, pamor Bu-Tong-Pai kala itu sedang pada puncaknya namun semenjak kitab tersebut hilang, perlahan tapi pasti ilmu silat Bu-Tong-Pai mengalami kemunduran yang tidak sedikit. Salah satu sebabnya tak lain karena saat itu tidak ada seorang murid Bu-Tong yang menguasai ilmu Thay-Kek-Kun ini secara sempurna sehingga hilangnya kitab tersebut membuat Bu-Tong-Pai kehilangan sandaran ilmu. Sedangkan pil Siok-beng-wan (pil penyambung nyawa) adalah pil buatan ketua Bu-Tong-Pai tiga angkatan sebelum dirinya. Kala itu Jing tojin, ketua angkatan ke tiga puluh berhasil membuat semacam obat hasil ramuan beberapa obat mustika seperti teratai salju, jinsom seribu tahun, bisa ular merah di kepulauan Hay-Tong. Memang selain piawai ilmu silat, Jing tojin dikenal memiliki ilmu pertabiban tingkat tinggi karena ia adalah keturunan si tabib dewa yang hidup ratusan tahun yang lalu. Kabarnya pil ini mampu membangkitkan orang mati, sepanjang orang tersebut meninggal tidak melebih satu hari. Khasiat lainnya, pil ini mampu melipatgandakan tenaga dalam seseorang. Pil Siok-beng-wan itu sendiri hanya terdiri dari tiga butir saja dan selama seratusan tahun ini hanya tertinggal satu butir saja. Tidak heran pihak Bu-Tong-Pai sangat menjaga kerahaian kitab dan pil pusaka tersebut. Hanya pimpinan tertinggi Bu-Tong-Pai saja yang mengetahui rahasia kedua pusaka ini. Untuk saat ini selain dirinya, hanya sutenya Kiong tojin yang mengetahui rahasia ini. Sebab itulah mengapa Sim tojin begitu terperanjat ketika mendapati si pemuda juga mengetahui rahasia tersebut. Selama belasan tahun ini, ia bersama Kiong tojin baru berhasil menguasai tiga bagian ilmu Thay-Kek-Kun. Selain tidak ada bimbingan dari pendahulu sebelumnya, ilmu itu sendiri menuntut penguasaan ilmu tenaga dalam yang sempurna serta pengertian ilmu Bu-Tong-Pai yang mendalam. “Untuk apa engkau menghendaki kedua pusaka itu?” tanya Sim tojin “Hmm..kelihatannay engkau merasa berat melepaskan kedua pusaka itu” kata si pemuda dengan mata berkilat aneh. Sim tojin menarik nafas panjang-panjang dan berdiam diri beberapa saat. Wajahnya menyiratkan kebimbangan dan kebingungan dalam mengambil keputusan tapi akhirnya ia berkata “Baiklah, lohu akan memberikan pil Siok-beng-wan padamu tapi kitab pusaka Thay-Kek-Kun tidak dapat aku berikan. Ini menyangkut kejayaan Bu-Tong-Pai di masa mendatang, lohu tidak berani….” “Cukup…engkau aku beri waktu satu tahun dari sekarang untuk menyerahkan kedua pusaka itu, tidak ada tawar menawar atau kalian Bu-Tong-Pai akan menanggung akibatnya” ancam si pemuda dengan suara keras. Kemudian sebelum Sim tojin bereaksi lebih lanjut, si pemuda mengebaskan tangan kanannya ke depan. Serangkum kekuatan tenaga sakti yang hebat melanda tubuh Sim tojin. Tak sempat berpikir lebih lanjut, Sim tojin mengangkat kecapi di tangan untuk menangkis angin pukulan si pemuda. “Brakk…kecapi tua di tangan Sim tojin hancur berkeping-keping. Tubuh Sim tojin terhuyung-huyung ke belakang beberapa depa namun si pemuda juga mundur beberapa langkah ke belakang. Ternyata kekuatan tenaga dalam si pemuda sungguh mengejutkan, ia mampu menandingi tenaga dalam Sim tojin hasil peryakinan puluhan tahun lamanya. Melihat Sim tojin mampu menghadapi serangannya, pemuda itu mendengus marah namun ia tidak melanjutkan serangan melainkan berlalu menghilang di kegelapan malam. Dalam sekejap si pemuda menghilang, ilmu meringankan tubuh yang ia miliki sungguh sempurna, tidak heran si pemuda mampu muncul tiba-tiba di hadapan Sim tojin. Diam-diam Sim tojin harus mengakui belum tentu ia mampu mengimbangi ilmu silat anaknya itu. Disamping merasa sedih dengan kelakuan sang anak yang baru pertama kali ia temui, ia harus mengakui hatinya bangga melihat keturunannya memiliki ilmu silat yang sempurna. Sekarang tepat setahun semenjak pertemuan itu, kembali sang anak muncul dihadapan dalam suasana yang hampir sama dengan sebelumnya. Sim tojin mengakhiri petikan kecapi perlahan-lahan lalu berdiri menyongsong kedatangan sang anak. Belum sempat Sim tojin mengeluarkan sepatah kata, pemuda tersebut berkata “Bagaimana apakah engkau sudah membawa kedua pusaka yang kuminta?” tanya si pemuda. Sim tojin merogoh saku baju dan mengeluarkan sebuah botol keramik kecil, lalu mengangsurkannya kepada si pemuda. “Sesuai janji lohu setahun yang lalu, lohu hanya bisa memberimu pil Siok-beng-wan ini” Pemuda menerima botol keramik tersebut dari Sim tojin lalu tutup botol itu dibukanya. Serangkum bau harum segera teruar dari dalam botol tersebut, mata pemuda itu bersinar gembira. Buru-buru botol itu ia masukkan ke dalam kantong baju. Kemudian sinar matanya kembali menyorot tajam ke arah Sim tojin. “Jadi engkau benar-benar tidak mau menyerahkan kitab pusaka Thay-Kek-Kun?” Dengan nada sedih Sim tojin menjawab… “Anakku, engkau minta apapun pasti akan lohu kabulkan tapi jangan engkau minta kitab pusaka itu. Kitab tersebut sungguh penting artinya buat Bu-Tong-Pai, kejayaan Bu-Tong tergantung pada kitab tersebut” “Aku tidak peduli dengan kejayaan Bu-Tong-Pai kalian. Tapi baiklah dengan memandang mukamu, aku tidak akan memperpanjang masalah itu lagi” “Syukurlah engkau mengerti kesukaranku, anakku” jawab Sim tojin dengan hati gembira. “Ngomong-ngomong engkau di panggil apa oleh ibumu?” tanya Sim tojin. “Aku biasa di panggil Tiong An” sahut si pemuda “Sim Tiong An..nama yang bagus” kata Sim tojin “Aku bukan she Sim” kata si pemuda tawar Jarak si pemuda dan Sim tojin cukup dekat, selesai mengeluarkan perkataan tersebut, sekonyong-konyong siku kanan si pemuda menekuk menghantam dada bagian samping Sim tojin. “Krakkk…krekk…tulang iga Sim tojin terhajar patah” Sungguh mimpipun Sim tojin tak menyangka sang anak begitu tega menyerang dirinya. “E.eng..kau…” belum habis Sim tojin berkata, serangan ganas berikut mengancam dirinya. “Bukk..bukk..bukk..uaaahhh, dada Sim tojin terhajar telak oleh si pemuda, dari balik mulut Sim tojin keluar bergumpal-gumapl darah segar.” Brukk…tubuh Sim tojin ambruk di permukaan tanah yang basah habis di guyur hujan. Nyawanya telah melayang sebelum tubuhnya menyentuh bumi, matanya melotot seolah tak rela meninggalkan dunia yang fana ini. Pemuda itu menghampiri tubuh Sim tojin yang terbujur kaku di tanah, tak tampak raut kesedihan sedikitpun diwajahnya. Tangannya merogoh saku baju Sim tojin dan mengeluarkan sebuah kitab berwarna kekuningan. Di sampul depan kitab tersebut tertera sebaris kalimat “Ilmu silat Thay-Kek-Kun” Pemuda itu mengeluarkan senyum iblis dan bergumam… “Memang sudah kuduga, engkau pasti tidak akan pernah meninggalkan kitab seberharga ini di tempat penyimpanan pusaka” “He..he..he..aku Mo-Kauw kauwcu akhirnya berhasil mendapatkan kitab dan pil pusaka ini. Tak seorangpun yang mampu menandingiku begitu aku berhasil melatih ilmu Thay-Kek-Kun ini.”